Minggu, 21 November 2010

HADITS

1. Hadits Tentang Niat atau Motivasi Beramal



Artinya : Al-Humaidiy ‘Abdullah bin al-Zubair telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Sufyan telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Yahya bin Sa’id al-Anshariy telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Muhammad bin Ibrahim al-Taimiy telah mengabarkan kepadaku bahwa ia telah mendengar ‘Alqamah bin Waqqash al-Laytsiy berkata, aku telah mendengar ‘Umar bin Khattab r.a. berkata di atas mimbar, ia berkata bahwa dia mendengar Rasulullah SAW telah telah bersabda: “Sesungguhnya amal dinilai berdasarkan niat, dan setiap orang mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa berhijrah semata-mata karena taat kepada Allah dan Rasulullah-Nya, maka hijrah itu dinilai sebagai hijrah karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrah karena mengharapkan keuntungan dunia, atau karena perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya dinilai berdasarkan apa yang ia niatkan dalam berhijrah. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas diucapkan oleh Rasulullah saw. sebagai jawaban atas pertanyaan seorang sahabat yang terkait dengan motif keikutsertaannya dalam hijrah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sabab wurud hadis ini terkait dengan hijrahnya Rasulullah saw. dari Mekah ke Madinah. Dalam peristiwa tersebut, sejumlah besar sahabat ikut serta dengan Nabi saw. untuk berpindah (hijrah) ke Madinah. Di antara para sahabat yang ikut bersama Nabi saw., ada salah seorang di antara mereka yang ikut serta, tapi niat keikutsertaannya bukan motif menyelamatkan aqidah dan memperjuangkan dakwah Islam, tapi karena ia mengikuti seorang wanita pujaan yang akan dikawinianya yang kebetulan hijrah bersama Rasulullah saw. ke Madinah. Menurut riwayat, wanita tersebut bernama Ummu Qais. Pada awalnya, laki-laki tersebut tidak berniat hijrah bersama Rasulullah saw., tapi karena wanita pujaannya bertekat hijrah dan memutuskan siap dikawini di Madina. Atas dasar tersebut maka laki-laki itu ikut serta bersama rombongan muhajirin ke Madinah, meskipun motifnya lain, yaitu menikahi wanita pujaannya. Setelah sampai di Madinah, kasus tersebut ditanyakan kepada Nabi saw. apakah orang tersebut mendapatkan pahala hijrah sebagaimana pahala yang diperoleh oleh sahabat-sahabat lain. Maka Rasulullah saw. bersabda bahwa: amal seseorang dipahalai berdasarkan niat, sebagaimana yang tercantum dalam hadis yang disebutkan di atas.
Dalam perspektif syariat, niat adalah komitmen tulus yang terlepas dari segala interest (kepentingan) materi dan duniawi. Sejalan dengan konsep tersebut, para ulama mengemukakan pengertian niat dengan redaksi yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang mendefinisikan niat sebagai berikut:
(Anniyatu hiya qosdu pi’li syaiun muqtaronaa bipi’lihi) bhsa arabin ya…
Artinya: “Niat adalah keinginan melakukan sesuatu yang diberbarengi dengan mewujudkannya”
Definisi lain :
b.arabnya…..

Artinya: “Keinginan yang ditujukan untuk mengerjakan suatu perbuatan dengan mengharapkan ridha Allah swt. dan menjalankan hukum-Nya.”
Berdasarkan hadis di atas dan memperhatikan kedua definisi yang dikemukakan, tampak bahwa niat dalam ajaran Islam mempunyai arti yang sangat penting, sebab ia merupakan kunci kebermaknaan amal di sisi Allah. swt. Semua bentuk perbuatan yang orientasinya adalah mengharap pahala dari Allah swt. hanya dapat dinilai jika didasari dengan niat. Niat itulah yang menentukan nilai dan kualitas sebuah perbuatan. Pahala yang diperolehnya pun sesuai dengan yang menjadi motivasi dalam melakukan perbuatan tertentu. Dengan demikian, niat menurut syariat ialah “pengharapan semata-mata hanya kepada Allah swt. dan melepaskan segala motif duniawi dalam melakukan suatu perbuatan.”
Sesuai penjelasan di atas, maka perbuatan yang mendapatkan pahala hanyalah perbuatan yang sejalan dengan perintah Allah saw. Dengan demikian, meskipun sesuatu itu dilakukan dengan niat yang ikhlas, tetapi perbuatan tersebut bertentangan dengan perintah Allah saw. atau melanggar aturan Allah swt., maka perbuatan tersebut sudah tentu tidak termasuk dalam kategori niat yang dikehendaki dalam hadis di atas. Jadi, inti niat yang benar adalah harus sesuai dengan perintah Allah swt.
Berdasarkan definisi niat sebagaimana disebutkan di atas, maka kasus hijrah karena motif meraup keuntungan dunia atau hanya termotivasi mengawini seorang wanita dalam hijrahnya, maka ia tidak akan mendapatkan pahala dari hijrah yang dilakukan, sebab tidak didasari keikhlasan karena Allah swt. Sebaliknya, hijrah yang didasari motif mendapat keridhaan Allah swt, akan mendapatkan nilai hijrah tersebut, di samping mendapatkan keuntungan duniawi yang tidak menjadi tujuan utamanya.
Berdasarkan kronologis wurudnya hadis ini, hijrah yang dimaksud dalam hadis di atas adalah hijrah Nabi saw. secara khusus bersama kaum muslimin meninggalkan kota Mekah menuju kota Madinah. Peristiwa tersebut terjadi karena Nabi saw. dan para sahabat yang ikut bersama beliau berkeinginan untuk menyelamatkan missi dan dakwah Islam yang setiap saat mendapat ronrongan dari kaum kuffar dan bahkan berkeinginan untuk menghalanginya gerak perkembangannya. Lebih dari itu, dalam berbagai kasus, orang-orang kafir Mekah sudah sampai ke tingkat keinginan untuk membinasakan Nabi saw. Menyadari ancaman tersebut dan tekat untuk tetap menjalankan missi yang diembannya, maka Nabi saw. beserta sehijrah secara tekstual yang terkandung dalam hadis di atas, yaitu hijrah fisik dari dar al-kuffar (daerah kafir) ke dar al-islam (daerah Islam).
Namun demikian, setelah kasus hijrah Nabi saw. dan para sahabatnya sebagai mana disebutkan di atas, bukanlah berarti bahwa peluang untuk meraih pahala hijrah sudah berakhir. Tapi kasus yang sama dalam pengertian hijrah untuk menyelamatkan aqidah yang terancam oleh lingkungan yang bobrok biasa dikategorikan sebagai hijrah dalam pengertian pertama tadi. Bahkan, hijrah dalam pengertian yang luas dapat di diartikan berpindah dari perbuatan mungkar (kemaksiatan) kepada ketaatan. Namun yang jelas, dalam bentuk apa pun perwujudan hijrah itu, niat akan tetap menjadi ukuran persyaratan utama dalam melakukan hijrah tersebut. Apapun yang mendasari dilakukannya sesuatu, maka itu pulalah yang akan didapatkan orang bersangkutan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa niat mempunyai arti sangat penting dan menjadi syarat sah atau tidaknya suatu ibadah. Semua bentuk aktifitas dalam Islam yang berorientasi mencari keridhaan Allah swt., baik sifatnya ibadah khusus (ibadah mahdhah) seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain, maupun bentuk-bentuk kegiatan yang diniatkan ibadah (ibadah ghair mahdhah) menjadikan niat sebagai rukun pertama dalam segala rangkaiannya. Apapun yang mendasari dilakukannya sebuah aktifitas, maka itu pula yang menjadi penilaian di sisi Allah swt.
Ditinjau dari sisi teologi, niat mengandung arti mengesakan Allah swt. (tauhid) dalam arti menghindari segala sesuatu yang bernuansa syirik, baik yang sifatnya syirik besar (al-syirk al-akbar) mapun syirik kecil (al-syirk al-ashgar). Kedua bentuk syirik tersebut merupakan lawan dari keikhlasan. Oleh sebab itu, ulama menggolongkan perbuatan yang dilakukan dengan riya sebagai salah satu bentuk syirik kecil terhadap Allah Allah swt. Shalat misalnya jika dilakukan disamping menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim, juga mengharapkan dari pelaksanaanya itu penghargaan dan penilaian manusia, maka hal itu termasuk merusak kemurnian niat dan termasuk syirik kecil.
Mengingat bahaya syirik dalam bentuk apapun, maka Allah swt. menegaskan dalam firman-Nya dalam QS. Al-Bayyinah (98): 5:


artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.

2. Hadits tentang sifat malu sebagian dari iman



Artinya : Dari abu Hurairah ra dari Nabi saw beliau bersabda: “iman itu enam puluh lebih cabanganya dan sifat malu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (H.R.Bukhari dan Muslim).
Imam Nawani dalam Riyadhush Shalihin menulis bahwa para ulama pernah berkata, “Hakikat dari malu adalah akhlak yang muncul dalam diri untuk meninggalkan keburukan, mencegah diri dari kelalaian dan penyimpangan terhadap hak orang lain.”
Dari hadits di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tidak akan ada sifat malu dalam diri seseorang yang tidak beriman. Akhlak yang mulia ini tidak akan kokoh tegak dalam jiwa orang yang tidak punya landasan iman yang kuat kepada Allah swt. Sebab, rasa malu adalah pancaran iman.
Tentang kesejajaran sifat malu dan iman dipertegas lagi oleh sabda Rasulullah saw yang artinya :
“Malu dan iman keduanya sejajar bersama. Ketika salah satu dari keduanya diangkat, maka yang lain pun terangkat.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar. Menurut Hakim, hadits ini shahih dengan dua syarat-syarat Bukhari dan Muslim dalam Syu’ban Iman. As-Suyuthi dalam Al-Jami’ Ash-Shagir menilai hadits ini lemah.)
Karena itu, sifat malu tidak akan mendatangkan kemudharatan. Sifat ini membawa kebaikan bagi pemiliknya.
(haditsnya ada dimakalah w kwlompok 2 yang hadits terakhir)
Artinya : “sifat malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan,”( HR. Bukhari )
Dengan kata lain, seseorang yang kehilangan sifat malunya yang tersisa dalam dirinya hanyalah keburukan. Buruk dalam ucapan, buruk dalam perangai. Tidak bisa kita bayangkan jika dari mulut seorang muslimah meluncur kata-kata kotor lagi kasar. Bertingkah dengan penampilan seronok dan bermuka tebal. Tentu bagi dia surga jauh. Kata Nabi, “Malu adalah bagian dari iman, dan keimanan itu berada di surga. Ucapan jorok berasal dari akhlak yang buruk dan akhlak yang buruk tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi)
Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk menghiasi diri dengan sifat malu. Dari mana sebenarnya energi sifat malu bisa kita miliki? Sumber sifat malu adalah dari pengetahuan kita tentang keagungan Allah. Sifat malu akan muncul dalam diri kita jika kita menghayati betul bahwa Allah itu Maha Mengetahui, Allah itu Maha Melihat. Tidak ada yang bisa kita sembunyikan dari Penglihatan Allah. Segala lintasan pikiran, niat yang terbersit dalam hati kita, semua diketahui oleh Allah swt.
Jadi, sumber sifat malu adalah muraqabatullah. Sifat itu hadir setika kita merasa di bawah pantauan Allah swt. Dengan kata lain, ketika kita dalam kondisi ihsan, sifat malu ada dalam diri kita. Apa itu ihsan? “Engkau menyembah Allah seakan melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu,” begitu jawaban Rasulullah saw. atas pertanyaan Jibril tentang ihsan.
Itulah sifat malu yang sesungguhnya. Sebagaimana yang sampai kepada kita melalui Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Malulah kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.” Kami berkata, “Ya Rasulullah, alhamdulillah, kami sesungguhnya malu.” Beliau berkata, “Bukan itu yang aku maksud. Tetapi malu kepada Allah dengan malu yang sesungguhnya; yaitu menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya, menjaga perut dari apa yang dikehendakinya. Ingatlah kematian dan ujian, dan barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan alam akhirat, maka ia akan tinggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang melakukan hal itu, maka ia memiliki sifat malu yang sesungguhnya kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

3. Hadits Tentang Cinta Sesama Muslim Adalah Sebagian Dari Iman


Artinya : “Anas bin malik r.a berkata bahwa nabi SAW. Bersabda, “tidaklah termasuk beriman seseorang diantara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana is mencintai dirinya sendiri.” ( H.R Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i )
Penjelasan hadits diatas bahwa ketika Seorang mukmin yang ingin mendapatkan rida Allah SWT. Harus berusaha untuk melakukan perbuatan – perbuatan yang diridai-Nya. Salah satunya adalah mencintai sesama saudaranya seiman seperti ia mencintai dirinya, sebagaimana dalam hadist diatas.
Namun demikian hadist tidak dapat diartikan bahwa seorang mukmin yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri berarti tidak beriman. Maksud pertanyaan pada hadist diatas. “tidaklah sempurna keimanan seseorang “, jika tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, haraf nafi’ pada hadist tersebut berhubungan dengan ketidaksempurnaan.
Hadist diatas juga menggambarkan bahwa islam sangat menghargai persaudaraan dalam arti sebenarnya. Persaudaraan yang datang dari hati nuranu, yang dasarnya keimanan dan bukan hal- hal yang lain, sehingga betul–betul merupakan persaudaraan murni dan suci. Persaudaraan yang abadi seabadinya iman kepada Allah SWT. Dengan kata lain, persaudaraan yang didasarkan lillah, sebagaimana diterangkan dalam banyak hadist tentang keutamman orang yang saling mencintai karena Allah SWT, diantaranya :
“Abu Hurairah berkata, Rasullulah SAW bersabda, ‘pada hari kiamat Allah SWT. Akan berfirman’ dimanakah orang yang saling terkasih sayang karena kebesaran-Ku, kini Aku naungi dibawah naunganku,pada saat tiada naungan, kecuali naungan-Ku”
Orang yang mencintai saudaranya karena Allah SWT akan memandang bahwa durinya merupakan salah satu anggota masyarakat, yang harus membangun suatu tatanan untuk kebahagiaan bersama. Apapun yang dirasakan oleh saudaranya, baik kebahagiaan maupun kesengsaraanya juga. Dengan demikian, terjadi keharmonisan hubungan antar individu yang akan memeperkokoh persatuan dan kesatuan. Dalam hadist lain, Rasullulah SAW, menyatakan:
“sesungguhnya antara seseorang mukmin dengan mukmin lainya bagaikan bangunan yang saling melengkapi ( memperkokoh ) satu sama lainya”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Masyarakat seperti itu, telah dicontjkkan pada zaman Rasullulah SAW. Kaum anshar dengan tulus ikhlas menolong dan merasakan penderitaan yang dirasakan loeh kaum muhajirin sebagai penderitaanya. Perasaan seperti itu bukan didasarkan keterkaitan darah atau keluarga,tetapi didasarkan pada keimanan yang teguh. Tak heran kalau mereka rela memberikan apa saja yang dimilikinya untuk menolong saudaranya dari kaum Muhajirin, bahkan ada yang menawarkan salah satu istrinya untuk dinikahkan kepada kaum muhajirin.
Persaudaraan seperti itu sungguh mencerminkan betapa kokoh dan kuatnya iman seseorang. Ia selalu siap menolong saudaranya seiman tanpa diminta, bahkan tidak jarang mengorbankan kepentingannyta sendiri demi menolong saudaranya. Perubahan baik seperti irtulah yang akan mendapat pahala besar disisi Allah SWT, yakni memeberikan sesuatu yang sangat di cintainya kepada saudaranya seiman dengan dirinya sendiri.
Allah SWT Berfirman:


“ kamu sekali–kali tidak sampai kepada kebejikan (yang sempurna ). Sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa yang kamu nafkahkan, sesunggihnya Allah mengetahuinya”.(Q.S.Al- imran :92)

4. Hadits Tentang Kejujuran

5. Hadits Tentang Menyambung Tali Silaturahmi


artinya: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.”
Hadits ini memberikan salah satu gambaran tentang keutamaan silaturahmi. Yaitu dipanjangkan umur pelakunya dan dilapangkan rizkinya.
Adapun penundaan ajal atau perpanjangan umur, terdapat satu permasalahan; yaitu bagaimana mungkin ajal diakhirkan? Bukankah ajal telah ditetapkan dan tidak dapat bertambah dan berkurang sebagaimana firmanNya :


Artinya: “Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS Al A’raf: 34).
Jawaban para ulama tentang masalah ini sangatlah banyak. Di antaranya,
1. Yang dimaksud dengan tambahan di sini, yaitu tambahan berkah dalam umur. Kemudahan melakukan ketaatan dan menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat baginya di akhirat, serta terjaga dari kesia-siaan.
2. Berkaitan dengan ilmu yang ada pada malaikat yang terdapat di Lauh Mahfudz dan semisalnya. Umpama usia si fulan tertulis dalam Lauh Mahfuzh berumur 60 tahun. Akan tetapi jika dia menyambung silaturahim, maka akan mendapatkan tambahan 40 tahun, dan Allah telah mengetahui apa yang akan terjadi padanya (apakah ia akan menyambung silaturahim ataukah tidak). Inilah makna firman Allah Ta’ala :


Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (QS Ar Ra’d:39).
Demikian ini ditinjau dari ilmu Allah. Apa yang telah ditakdirkan, maka tidak akan ada tambahannya. Bahkan tambahan tersebut adalah mustahil. Sedangkan ditinjau dari ilmu makhluk, maka akan tergambar adanya perpanjangan (usia).
3. Yang dimaksud, bahwa namanya tetap diingat dan dipuji. Sehingga seolah-olah ia tidak pernah mati. Demikianlah yang diceritakan oleh Al Qadli, dan riwayat ini dha’if (lemah) atau bathil. Wallahu a’lam. [Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathi’atiha (16/114)]
Demikian pula Syaikhul Islam berkomentar tentang permasalahan ini dengan pernyataan beliau :
Adapun firman Allah Ta’ala :

Arinya: “Dan sekali-kali tidak diperpanjang umur seorang yang berumur panjang, dan tidak pula dikurangi umurnya…… ” (QS Fathir:11).
Bermakna umur manusia tidak akan diperpanjang, dan tidak pula akan dikurangi. Adapun maksud diperpanjangan dan pengurangan disini, bermakna dua hal, yaitu :
1. Si fulan berumur panjang, sedangkan lainnya berumur pendek. Maka pengurangan umur di sini merupakan kekurangannya dibanding yang lainnya, sebagaimana orang yang panjang umurnya berumur panjang dan yang lain berumur pendek. Maka pengurangan umurnya menunjukkan dia lebih pendek dibandingkan yang pertama sebagaimana perpanjangan merupakan tambahan dibanding yang lainnya.
2. Bisa jadi makna kurang disini ialah kurang dari umur yang telah ditentukan, sebagaimana yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan dari umur yang telah ditentukan. Sebagaimana dalam Shahihain dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda,
Artinya: “Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturahim.”
Sebagian orang berkata, yang dimaksud adalah barakah dalam umurnya dengan beramal dengan waktu yang singkat sesuatu yang diamalkan oleh orang lain dalam waktu yang lama. Mereka beralasan, karena rizki dan ajal telah ditakdirkan dan ditentukan. Maka dikatakan kepada mereka, bahwa barakah tadi bermakna tambahan dalam amal dan manfaat. Padahal hal tersebut juga telah ditakdirkan. Bahkan ketentuan tersebut meliputi semua hal.
Jawaban yang benar ialah : Bahwa Allah telah menetapkan ajal hamba dalam catatan malaikat. Apabila ia menyambung silaturahim, maka akan ditambahkan pada apa yang tertulis dalam catatan malaikat tersebut. Jika ia melakukan amalan yang menyebabkan umurnya berkurang, maka akan dikurangkan dari apa yang telah tertulis tersebut.

6. Hadits tentang larangan menelantarkan lahan



Artinya :“ Hadist Jabir bin Abdullah r.a. dia berkata : Ada beberapa orang dari kami mempunyai simpanan tanah. Lalu mereka berkata: Kami akan sewakan tanah itu (untuk mengelolahnya) dengan sepertiga hasilnya, seperempat dan seperdua. Rosulullah S.a.w. bersabda: Barangsiapa ada memiliki tanah, maka hendaklah ia tanami atau serahkan kepada saudaranya (untuk dimanfaatkan), maka jika ia enggan, hendaklah ia memperhatikan sendiri memelihara tanah itu. “ (HR. Imam Bukhori dalam kitab Al-Hibbah)
Dari ungkapan Nabi S.a.w. dalam hadits diatas yang menganjurkan bagi pemilik tanah hendaklah menanami lahannya atau menyuruh saudaranya (orang lain) untuk menanaminya. Ungkapan ini mengandung pengertian agar manusia jangan membiarkan lingkungan (lahan yang dimiliki) tidak membawa manfaat baginya dan bagi kehidupan secara umum. Memanfaatkan lahan yang kita miliki dengan menanaminya dengan tumbuh-tumbuhan yang mendatangkan hasil yang berguna untuk kesejahteraan pemiliknya, maupun bagi kebutuhan konsumsi orang lain. Hal ini merupakan upaya menciptakan kesejahteraan hidup melalui kepedulian terhadap lingkungan. Allah S.w.t. telah mengisyaratkan dalam Al-Qur’an supaya memanfaatkan segala yang Allah ciptakan di muka bumi ini. Isyarat tersebut seperti diungkapkan dalam firman-Nya:

“ Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu semua.” (Qs. Al-Baqoroh : 29)
Dalam hadits dari Jabir di atas menjelaskan bahwa sebagian para sahabat Nabi S.a.w. memanfaatkan lahan yang mereka miliki dengan menyewakan lahannya kepada petani. Mereka menatapkan sewanya sepertiga atau seperempat atau malahan seperdua dari hasil yang didapat oleh petani. Dengan adanya praktek demikian yang dilakukan oleh para sahabat, maka Nabi meresponnya dengan mengeluarkan hadits diatas, yang intinya mengajak sahabat menanami sendiri lahannya atau menyuruh orang lain mengolahnya apabila tidak sanggup mengolahnya. Menanggapi permasalahan sewa lahan ini, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid menjelaskan bahwa segolongan fuqoha tidak membolehkan menyewakan tanah. Mereka beralasan dengan hadits Rafi’ bin Khuday yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Al-Muzara’ah :
اَنَّ النَّبِى ص.م. نَهَى عَنْ كَرَاءِ الْمَزَارَعِ. (رواه البخارى)
“ Bahwasanya Nabi S.a.w. melarang menyewakan lahan “ (HR. Bukhori)
Sedangkan jumhur ulama membolehkan, tetapi imbalan sewanya haruslah dengan uang (dirham atau dinar) selain itu tidak boleh. Ada lagi yang berpendapat boleh dengan semua barang, kecuali makanan termasuk yang ada dalam lahan itu. Berbagai pendapat yang lain seperti yang dikemukakan Ibnu Rusyd bahwa dilarang menyewakan tanah itu lantaran ada kesamaran didalamnya. Sebab kemungkinan tanaman yang diusahakan di atas tanah sewaan itu akan tertimpa bencana, baik karena kebakaran atau banjir. Dan akibatnya si penyewa harus membayar sewa tanpa memperoleh manfaat apapun daripadanya. Seperti sabda Rasulullah saw. Yang terkait dengan hadits diatas yang artinya :
“Ibnu Umar r.a. berkata : Nabi S.a.w. menyerahkan sawah ladang dan tegal di khaibar kepada penduduk Khaibar dengan menyerahkan separuh dari penghasilannya berupa kurma atau buah dan tanaman, maka Nabi S.a.w. memberi istri-istrinya seratus wasaq (1 wasaq=60 sha’. 1 sha’ =4 mud atau 2 ½ Kg), delapan puluh wasaq kurma tamar, dan dua puluh wasaq sya’er (jawawut). Kemudian dimasa Umar r.a. membebaskan kepada istri-istri Nabi S.a.w. untuk memilih apakah minta tanahnya atau tetap minta bagian wasaq itu, maka diantara mereka ada yang memilih tanah dan ada yang minta bagian hasilnya berupa wasaq.” (HR. Bukhori).

Minggu, 14 November 2010

UTS ANTROPOLOGI AGAMA KPI 3 B

DATA PENELITI
Nama : .......................................................................................................................
Smt/Kelas : .......................................................................................................................
Jurusan : Komunikasi Penyiaran Islam
Fakultas : FIDK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mata Kuliah : Antropologi Agama

LOKASI OBSERVASI
Jenis Lokasi : 1. Masjid Elit 2. Masjid Kampung
Nama Masjid 1: .......................................................................................................................
Nama Masjid 2: .......................................................................................................................
Kelurahan : .......................................................................................................................
Kecamatan : .......................................................................................................................
Kota : 1. Jakarta Selatan 2. Jakarta Utara 3. Jakarta Timur
4. Jakarta Barat 5. Jakarta Pusat 6. Kab. Tangerang
7. Kota Tangerang 8. Kota Tangsel 9. ..............................
Hari : .......................................................................................................................
Sholat Jamaah : 1. Magrib 2. Isya’ 3. Subuh 4. Ashar 5. Dhuhur
1. Masjid Perumahan Elit
No Jamaah Jumlah Lama Keterangan
1a Pria Tua II (di atas 50) ................... 20 menit ...................
2a Pria Tua I (41-50) ................... 20 menit ...................
3a Pria Dewasa II (26-40) ................... 20 menit ...................
4a Pria Dewasa I (22-25) ................... 20 menit ...................
5a Pria Remaja II (18-21) ................... 20 menit ...................
6a Pria Remaja I (14-17) ................... 20 menit ...................
7a Anak2 LK (di bawah 17) ................... 20 menit ...................
1b Wanita Tua II (di atas 50) ................... 20 menit ...................
2b Wanita Tua I (41-50) ................... 20 menit ...................
3b Wanita Dewasa II (26-40) ................... 20 menit ...................
4b Wanita Dewasa I (22-25) ................... 20 menit ...................
5b Wanita Remaja II (18-21) ................... 20 menit ...................
6b Wanita Remaja I (14-17) ................... 20 menit ...................
7b Anak2 PR (di bawah 17) ................... 20 menit ...................







2. Masjid Perumahan Kampung
No Jamaah Jumlah Lama Keterangan
1a Pria Tua II (di atas 50) ................... 20 menit ...................
2a Pria Tua I (41-50) ................... 20 menit ...................
3a Pria Dewasa II (26-40) ................... 20 menit ...................
4a Pria Dewasa I (22-25) ................... 20 menit ...................
5a Pria Remaja II (18-21) ................... 20 menit ...................
6a Pria Remaja I (14-17) ................... 20 menit ...................
7a Anak2 LK (di bawah 17) ................... 20 menit ...................
1b Wanita Tua II (di atas 50) ................... 20 menit ...................
2b Wanita Tua I (41-50) ................... 20 menit ...................
3b Wanita Dewasa II (26-40) ................... 20 menit ...................
4b Wanita Dewasa I (22-25) ................... 20 menit ...................
5b Wanita Remaja II (18-21) ................... 20 menit ...................
6b Wanita Remaja I (14-17) ................... 20 menit ...................
7b Anak2 PR (di bawah 17) ................... 20 menit ...................

Keterangan:
1. Mahasiswa meneliti jamaah laki-laki, mahasiswi meneliti jamaah perempuan
2. Masing-masing meneiti 2 masjid (elit dan kampung)
3. Hasil pengamatan dan analisis dapat di email ke kholisridho@ymail.com, jangan lupa tulis nama, kelas/smt/ dan mata kuliah-nya..Paling lambat tanggal 20 November 2010. (lewat tanggal tersebut dinyatakan gagal/tidak ikut UTS)


CATATAN ANALISIS